Berjalan dari Jalan Legian, suasana jalan ini terasa seperti bayangan dirinya sendiri. Hampir semua orang masih terlelap. Toko-toko dengan pajangan penuh sarung, kaos 'Bintang' dan suvenir ukiran terkunci rapat. Bar yang biasanya hidup di malam hari terlihat mati suri, lampunya gelap seakan sedang mabuk setelah pesta semalam. Bahkan graffiti di dinding, yang biasanya mencolok di bawah sinar matahari, terlihat pudar dalam cahaya pagi yang kelabu.
Begitu sunyi hingga saya bisa mendengar langkah sandal saya yang berdecit lembut di atas aspal basah. Beberapa orang terlihat menyapu jalan, sapu mereka menggores tanah dengan irama yang konstan. Seorang pria melintas, berjalan dengan hati-hati seolah takut hujan akan turun lagi, sementara seekor anjing liar mengendus malas mencari sisa makanan semalam. Sesekali, terdengar derit pintu tua saat seseorang mengintip keluar, mungkin bertanya-tanya apakah hujan akan kembali. Saya terhenti, kamera di tangan, mencoba menangkap momen keheningan langka ini. Jalan ini terkenal dengan kegilaannya – motor-motor yang meliuk, tawar-menawar tanpa henti, tawa yang mengalir dari bar – tetapi tidak pagi ini.
Pernahkah anda melihat tempat seperti ini, terlepas dari kebisingan dan kekacauan siang harinya? Rasanya hampir surreal. Kerapatan jalan ini terasa lebih jelas tanpa kerumunan orang dan motor. Bangunan-bangunannya condong satu sama lain seolah sedang bergosip. Cat dindingnya yang mengelupas dan ternoda kelembapan menceritakan banyak musim yang telah berlalu. Di atas kepala, kabel listrik yang menjuntai berkilauan dengan tetesan hujan, sedikit melorot karena berat air.
Sebuah motor lewat perlahan, pengendaranya hampir tidak menoleh. Dua sepeda menyusul, bergoyang sedikit menghindari genangan. Rasanya seperti jalan ini sedang perlahan terbangun, meregangkan anggota tubuhnya sebelum hiruk-pikuk sesungguhnya dimulai. Transformasi ini begitu menarik untuk disaksikan. Dalam sepuluh menit, dengung kehidupan mulai terdengar lebih keras. Penjual jalan pertama tiba dengan motornya, duduk di trotoar sambil menunggu pelanggan pertama untuk membeli nasi, bakwan, tempe, pisang molen, atau kopi untuk dibawa. Seorang wanita keluar dari mini-mart 24 jam, kantong plastiknya berdesir saat ia menyeimbangkan tas tersebut di pegangan skuter dan melaju pergi ke pagi yang tenang.
Jalan ini berubah menjadi cerita yang tidak bisa anda abaikan. Setiap foto yang saya ambil terasa seperti potongan kecil dari momen transisi ini – ketenangan sebelum badai. Sinar matahari, yang mulai menembus awan dengan lemah, memantul di atas ubin basah dan atap rendah. Warna-warna jalan yang redup memberikan bayangan akan kekacauan warna-warni yang akan datang, seperti kanvas seorang seniman yang menunggu goresan cat pertamanya.
Saat saya tiba di Pantai Kuta, suara ombak menggantikan gema samar dari jalan. Jalan Poppies 2, dalam ketenangan paginya, terasa seperti sebuah rahasia. Menjelang tengah hari, jalur ini akan dipenuhi warna, suara, dan kehidupan lagi. Tapi untuk saat ini, jalan ini hanya milik saya – dan mungkin milik anda juga, jika suatu saat anda memutuskan untuk mengikuti jejak saya.
Apakah anda lebih suka berjalan di jalan ini dalam kekacauannya atau ketenangannya? Bagi saya, jam yang tenang ini adalah momen paling jujur, sekilas tentang apa yang tersembunyi di balik kebisingan.
Hanan
Saya travel dunia untuk menemukan cerita yang tak terduga.
4 Januari 2024
Anda Mungkin Suka Ini
Suka yang ini? Hanan memilih beberapa artikel lain yang mungkin juga anda suka. Comments are closed.
|
|